Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan Indonesia sudah berkomitmen untuk memulai transisi energi ramah lingkungan. Komitmen tersebut sudah dinyatakan pada KTT COP26 di Glasgow, Skotlandia Oktober tahun lalu. Hanya saja kata Presiden transisi energi tersebut memerlukan biaya yang sangat besar.
"Indonesia sudah berkomitmen untuk memulai transisi ke energi ramah lingkungan tapi transisi energi memerlukan pembiayaan dan pendanaan yang sangat besar," kata Jokowi dalam acara World Economic Forum dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (20/1/20222). Bagi negara berkembang seperti Indonesia transisi energi tersebut harus didukung teknologi dan didukung dengan pendanaan, agar tidak terlalu membebani. Baik itu membebani masyarakat, membebani keuangan negara, dan membebani industri.
"Indonesia misalnya membutuhkan USD 50 miliar untuk transformasi menuju ke energi baru terbarukan dan butuh USD 37 miliar untuk sektor kehutanan guna lahan dan karbon laut," katanya. Karena itu, kata Presiden, Indonesia dan negara berkembang meminta kontribusi negara maju untuk pembiayaan dan transfer teknologi. Sumber pendanaan dan alih teknologi tersebut akan jadi game changer pengembangan skema pendanaan inovatif.
"Pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan dari banyak negara berkembang, banyak negara miskin pertanyaan mengenai ini dan hasil konkrit hanya bisa dibuktikan oleh kuatnya kerjasama," katanya. Selain itu, kata Presiden, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam transisi energi. Pemerintah perlu bekerja sama secara domestik dan bekerja sama secara global.
Di dalam negeri misalnya pemerintah bekerjasama dengan BUMN energi dan pihak swasta untuk mendesain transisi energi yang adil dan terjangkau. Sementara itu, di tingkat internasional pemerintah telah bekerjasama dengan ADB (Asian Development Bank ) dalam memulai mekanisme transisi energi. "Dari batubara ke energi baru terbarukan dan yang paling penting memang bagaimana dua hal tadi sekali lagi teknologi, pendanaan menjadi kunci," katanya.